Vol. 6 No. 2 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum

					View Vol. 6 No. 2 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum

Volume 6 Nomor 2 Tahun 2022

Pembaca budiman, Volume 6 Nomor 2 (April 2022) Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum telah terbit dengan memuat 7 (tujuh) artikel. Artikel-artikel tersebut berisi tema-tema yang menarik, tidak hanya karena isunya terkini atau mutakhir, tetapi juga memperdebatkan pendapat yang nampaknya sudah menjadi semacam pendapat umum. Dengan skenario demikian maka pemutakhiran pengetahuan kita atas Ilmu Hukum dapat dilakukan secara berkesinambungan sehingga stock of knowledge dari Ilmu Hukum dapat terus terakumulasi.

Terbitan kali ini dibuka dengan artikel yang mendiskusikan pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Artikel ini mengajukan argumen bahwa pemberhentian tersebut bukan pemakzulan layaknya sistem presidensial, tetapi mosi tidak percaya seperti dalam sistem parlementer. Dalam mempertahankan argumen tersebut, artikel ini melakukan klarifikasi konseptual yang cukup penting atas masih rancunya penggunaan konsep pemakzulan dan pemberhentian - selain menjustifikasi argumennya bahwa pemberhentian Gus Dur dari jabatan Presiden lebih tepat dikualifikasikan sebagai praktik mosi tidak percaya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena Gus Dur dipilih dan diangkat oleh MPR.

Artikel selanjutnya mendiskusikan tentang teori ajudikasi dengan latar praktik ajudukasi oleh Pengadilan Pajak. Teori ajudikasi yang secara spesifik dibahas adalah judicial pragmatism yang menguji validitas putusan yudisial atas dasar efisiensi pasar. Penulis menelaah ketepatan penerapan pendekatan judicial pragmatism oleh Pengadilan Pajak dalam tiga putusan. Penulis dalam artikelnya berargumen bahwa pendekatan judicial pragmatism tersebut tidak diterapkan secara tepat ke dalam putusan oleh Pengadilan Pajak.

Artikel ketiga mendiskusikan isu mutakhir terkait dengan perkembangan hukum terkini tentang pengaturan hak atas tanah pasca UU Cipta Kerja - termasuk implikasinya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Dalam kritiknya terhadap pengaturan hak atas tanah oleh UU Cipta Kerja, penulis berargumen bahwa terjadi perubahan kebijakan hukum yang drastis tidak dalam makna positif, tetapi negatif. Perubahan yang dimaksudkan misalnya: hak guna bangunan dan hak pakai memberikan hak tidak hanya untuk tanah di permukaan bumi dan sekarang diperluas sampai ke ruang atas tanah dan ruang di bawah tanah; jangka waktu hak diatur sekaligus sampai 50 tahun untuk hak guna bangunan dan 60 tahun untuk hak guna usaha dan masih memiliki hak untuk pembaruan sampai 30 tahun untuk hak guna bangunan atau 35 tahun untuk hak guna usaha. Dengan masih berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, penulis menyimpulkan bahwa hukum agraria Indonesia mengalami anomali. Dan solusi yang diusulkan atas situasi tersebut adalah dengan tidak melanjutkan law remaking UU Cipta Kerja (sebagai implikasi putusan MK) atau melakukan reinterpretation of norm.

Artikel selanjutnya mendiskusikan satu aspek spesifik dari Hukum Adat di Sumatera Barat tentang lembaga dan prosedur penyelesaian sengketa. Lembaga penyelesaian sengketa adat ini masih ada dan berjalan sebagaimana mestinya di Sumatera Barat. Tahapan beracara dalam penyelesaian sengketa secara adat dilakukan dengan asas bajanjang naiak batanggo turun yaitu melalui tahap Bakaum (musyawarah antara kaum), Bakampuang (penyelesaian di setiap kampung), kemudian tahap Pasukuan (penyelesaian dibantu oleh suku lain) dan Babalai Bamusajik. Apabila tidak selesai maka diajukan kepada Lembaga Kerapatan Nagari. Studi demikian sangat penting karena berhasil menunjukkan bahwa hukum-hukum yang berlaku, dan menguasai kita, tidak hanya hukum positif. Oleh karena itu, studi untuk "menemukan" hukum-hukum non-positif, seperti Hukum Adat, yang dilakukan artikel ini sangat relevan untuk studi hukum kita yang lebih komprehensif.

Artikel kelima mendiskusikan isu kepastian hukum dalam pembatasan perkara terkait dengan kasasi atas perkara TUN yang objeknya adalah KTUN yang diterbitkan oleh pejabat daerah. Putusan MA No. 174 K/TUN/2013 dengan objek Keputusan Walikota tentang Pengesahan Kepala Desa dan Putusan MA No. 288 K/TUN/2020 dengan objek Keputusan Bupati tentang Pengesahan Kepala Pemerintah Negeri (Kepala Desa Adat) mengecualikan keberlakuan ketentuan tentang pembatasan kasasi yang diatur dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kedua Putusan tersebut dikritisi karena objek putusan termasuk dalam katagori perkara tata usaha negara yang dibatasi untuk dilakukan upaya hukum kasasi oleh undang-undang. Artikel ini berargumen bahwa kedua Putusan kasasi tersebut tidak memberikan kepastian hukum terhadap pembatasan kasasi perkara tata usaha negara dan dapat menimbulkan akibat hukum tidak efektifnya pelaksanaan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara.

Isu mutakhir terkait dengan layanan kesehatan berbasis telemedicine didiskusikan oleh artikel selanjutnya. Telemedicine merupakan bentuk layanan kesehatan berbasis elektronik sehingga dokter dan pasien tidak bertemu secara langsung. Isu layanan kesehatan berbasis telemedicine tersebut ditelaah dari dua aspek. Pertama, hubungan hukum. Kedua, pertanggungjawaban. Artikel ini berargumen bahwa, walau tanpa melalui tatap muka langsung, perjanjian terapeutik antara dokter-pasien tetap terjadi. Atas dasar itu, sebagai implikasinya, karena ada perjanjian terapeutik tersebut, artikel ini juga berargumen bahwa dokter memiliki tanggung jawab mutlak kepada pasiennya.

Artikel terakhir mendiskusikan isu tentang hak privasi dan perlindungan data pribadi elektronik dari nasabah bank. Terkait dengan itu, yang dikritisi oleh artikel ini adalah pengaturan UU Perbankan di mana tentang perlindungan data pribadi nasabah terkait dengan pembocoran rahasia bank tidak diatur secara eksplisit. Namun demikian, dengan penafsiran gramatikal dan sistematik, pembocoran rahasia bank terkait dengan data pribadi elektronik nasabah dapat dikualifikasikan sebagai bentuk pelanggaran hak privasi dan data pribadi elektronik nasabah bank. Sebagai implikasinya, hal itu dapat menimbulkan isu terkait dengan pertanggungjawaban. Artikel ini berargumen, terkait dengan bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang mungkin timbul sebagai berikut. Tanggung jawab pihak lain yang memaksa bank untuk membocorkan rahasia bank adalah liability based on fault principle; tanggung jawab direksi bank terhadap perbuatannya dalam membocorkan rahasia bank berdasarkan strick liability dan atau vicarious liability apabila pelakunya pihak yang berada di bawah pengawasannya; dan tanggung jawab pegawai bank melalui prinsip presumption of liability.

Atas telah hadirnya terbitan ini kami haturkan selamat membaca kepada pembaca budiman.

Published: 2022-04-28

Articles