Vol. 3 No. 2 (2020): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA

					View Vol. 3 No. 2 (2020): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA

Pembaca budiman, edisi ini kembali hadir untuk mengisi ruang diskursus hukum kita dengan beragam tema. Artikel-artikel yang diterbitkan oleh edisi ini mendiskusikan isu-isu hukum dari banyak perspektif: tidak hanya teknis-yuridis, tetapi juga filosofis. Artikel pertama mendiskusikan tentang kondisi pengaturan hukum teknologi finansial menggunakan optik filosofis. Berdasarkan diskusi yang dilakukan, para penulis berargumen tentang kuatnya pengaruh pandangan positivisme hukum terhadap sistem hukum Indonesia secara umum dan pengaturan tentang teknologi finansial secara khusus. Sebagai alternatif atas kondisi tersebut artikel ini mengusulkan sebuah pandangan hukum di mana hukum seyogianya mampu berfungsi memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial tanpa dikungkung oleh keharusan "positivisasi" hukum ke dalam peraturan perundang-undangan secara eksklusif, termasuk dalam menyikapi belum adanya peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang teknologi finansial.

Artikel berikutnya mendiskusikan isu pertentangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan secara hierarkis dengan studi kasus spesifik Perda Kota Sukabumi No. 13 Tahun 2015 tentang Larangan Minuman Beralkohol. Dalam telaahnya penulis berargumen bahwa Perda Kota Sukabumi yang melarang minuman beralkohol tersebut bertentangan dengan Perpres No. 74 Tahun 2013 karena Perpres sebagai peraturan yang lebih tinggi dari Perda tidak melarang minuman beralkohol, tetapi hanya mengatur distribusinya. Kondisi demikian dapat terjadi karena dua hal. Pertama, pembentuk Perda gagal dalam menyesuaikan diri dengan kebijakan hukum Pemerintah Pusat. Kedua, Pemerintah Pusat gagal dalam melakukan pengawasan terhadap Daerah, sehingga dapat lahir Perda yang substansinya tidak sesuai dengan kebijakan hukum Pemerintah Pusat.

Artikel ketiga mendiskusikan isu legalitas operasi tangkap tangan (OTT) yang populer karena menjadi senjata andalan KPK dalam strateginya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Penulis mengkritisi legalitas OTT karena KPK tidak diberikan kewenangan oleh UU KPK untuk melakukan itu. Terkait dengan isu tersebut penulis berargumen bahwa OTT merupakan bagian dari penangkapan dalam hal tertangkap tangan. Penulis juga melakukan klarifikasi konseptual bahwa OTT memiliki perbedaan dalam hal metode pelaksanaan dengan tindakan penangkapan yang biasa dikenal sebagai tertangkap tangan yang cenderung bersifat spontanitas (tanpa direncanakan).

Artikel keempat mendiskusikan tentang ancaman sanksi pidana mati dalam UU Tipikor dikaitkan dengan hak untuk hidup. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor memuat ancaman sanksi pidana mati untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan khusus seperti penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi/moneter atau jika pelaku melakukan pengulangan tindak pidana korupsi. Penulis berargumen bahwa pidana mati tersebut inkonstitusional, bertentangan dengan hak untuk hidup, karena hak untuk hidup adalah HAM yang sifatnya primer, yaitu merupakan dasar untuk HAM yang lain. Oleh karenanya, pidana mati tidak pada tempatnya untuk dibiarkan ko-eksis dengan hak untuk hidup sebagai HAM yang sifatnya demikian.

Artikel terakhir mendiskusikan isu tentang perjanjian internasional yang bersifat bilateral di bidang kerja sama ekonomi. Artikel ini secara khusus menelaah Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Turki. Penulis menyoroti perjanjian tersebut dari tiga aspek. Pertama, kedudukannya sebagai dokumen hukum bagi kedua negara (Indonesia dan Turki). Kedua, nilai kemanfaatannya. Ketiga, kepastian hukumnya.

Semoga artikel-artikel ini dapat memperkaya wawasan hukum kita. Selamat membaca.

Published: 2020-12-15